Memahami Lafadz (Tidur) dalam al-Quran
Oleh:
Mardjoko Idris[1], Tatik Maryatut Tasnimah[2]
______________________________________
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam al-Quran untuk menunjuk pada makna (tidur) antara lain lafadz sinah, naum, ruqûd, nu’âs, huju’, dan qailûlah.
Lafadz sinah (ngantuk) dan naum (tidur), termaktub dalam al-Quran;
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ
Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah: 255)
Lafadz sinah menunjuk pada makna ngantuk, suatu sifat keadaan yang semua manusia tidak dapat mengelak darinya. Allah Swt jauh dari sifat ngantuk, Allah Swt terus menerus berjaga dan selalu siap siaga. Orang yang berada dalam keadaan mengantuk ia telah kehilangan kesadarannya, Allah Swt tidak pernah mengantuk oleh karenanya Allah selalu bisa mengurus dan memelihara makhluk-Nya dengan baik, tidak pernah kehilangan kesadaran ataupun lalai. Karena Alah tidak pernah mengantuk, secara otomatis Allah Swt tak pernah tidur, karena mengantuk adalah permulaan dari tidur.
Lafadz nu’âs yang menunjuk pada makna awal dimulainya tidur, termaktub dalam al-Quran;
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ ﴿١١﴾
Artinya:
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (QS. Al-Anfal: 11)
Lafadz nu’âs diartikan dengan kantuk, suatu keadaan yang tidak mungkin terlaksana atas kehendak manusia, dan bila rasa kantuk telah datang sulit dihentikan. Dalam konteks ayat tersebut di atas, rasa kantuk merupakan penentraman dari Allah kepada kaum muslimin, karena jika perasaan batin risau atau takut, rasa kantuk akan menjauh, bahkan semakin besar rasa risau dan rasa ketakutan, rasa kantuk akan semakin jauh darinya.
Lafadz hujû’ yang menunjuk pada makna tidur pada sebagian waktu malam, termaktub dalam al-Quran:
كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ﴿١٧﴾
Artinya:
di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Ad-Dzariyat: 17)
Ayat tersebut menerangkan tentang sifat orang-orang yang bertaqwa, antara lain yahja’ûna, lafadz yang mempunyai makna sedikit tidur di waktu malam, karena mengisi waktu-waktu mereka dengan sembahyang tahajud.
Lafadz ruqûd yang menunjuk pada makna tidur yang panjang, termaktub dalam al-Quran;
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ
Artinya:
dan kamu mengira mereka itu bangun, Padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri. (QS. Al-Kahf: 18)
Ayat tersebut di atas mengisahkan pemuda-pemuda penghuni gua, yang dalam posisi mereka sedang tidur. Penggunaan lafadz ruqûd pada ayat tersebut untuk menunjuk pada makna tidur yang panjang. Tidur yang panjang itu dapat dipahami dengan informasi setelahnya, yaitu Allah membolak-balikan tubuh mereka kearah kanan dan kiri, agar angin dan matahari selalu menyinari seluruh tubuh mereka, dengan demikian tubuh mereka tidak rusak oleh pengaruh tanah. Ditegaskan, berdasar konteks situasi, bahwa lafadz ruqûd tersebut mempunyai makna tidur dalam masa yang panjang.
Lafadz qailûlah yang menunjuk pada makna tidur di waktu siang, temaktub dalam al-Quran;
وَكَم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتًا أَوْ هُمْ قَائِلُونَ ﴿٤﴾
Artinya:
betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, Maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari. (QS. Al-A’raf: 4)
Kata qâilûna terambil dari kata قيلولة (qailûlah), yaitu waktu antara tengah hari dan waktu Ashar. Waktu itu biasa digunakan oleh umat manusia untuk beristrahat. Dalam konteks ayat tersebut di atas, nampaknya Allah ingin menjelaskan bahwa siksa dan kebinasaan itu datang pada saat tidak terduga, karena sekiranya siksa atau kebinasaan itu terduga, maka mereka tidak akan tidur, baik di malam hari maupun di siang hari.
Setelah memahami penggunaan lafadz tidur dalam al-Quran, kali ini kami mengajak para pembaca memahami taqdîm (didahulukan-nya) lafadz sinah (ngantuk) atas naum (tidur) yang termaktub dalam al-Quran :
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ
Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah: 255)
Teori persoalan taqdîm dalam studi al-Quran sebenarnya sudah dipaparkan panjang lebar oleh Syeh Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i dalam bukunya al-Itqân fî Ulûmil-Qurân juz al-Tsani, tugas kita sekedar menerapkan teori tersebut dalam memahami tarkib ayat-ayat al-Quran, termasuk dalam memahami taqdîm lafadz sinah atas naum.
Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah kalimat لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمٌ (tidak mengantuk dan tidak tidur) mendahulukan lafadz سِنَةٌ (rasa kantuk) atas kalimat نَوْمٌ (tidur). Dalam kontek ayat tersebut, mendahulukan lafadz sinah (rasa kantuk) atas naum (tidur) difungsikan untuk menerangkan bahwa rasa kantuk itu lebih dahulu datangnya daripada tidur. Munir Mahmud menjelaskan fungsi taqdim tersebut dengan:
لأن العادة فى البشر أن تأخذ العبد السنة قبل النوم فجاءت العبارة على هذه العادة
Telah menjadi kebiasaan di kalangan umat manusia mengalami rasa ngantuk sebelum tidur. Oleh karenanya, dalam struktur gaya bahasa al-Quran mendahulukan rasa ngantuk atas tidur. (Munir Mahmud al-Musiry, Dalâlatut-Taqdîm wat-Takchîr, Cairo: Maktabah Wahbah, 1426H/2005M, p. 137)
Syukran awi