Bahasa Arab: Gramatika, etika, doktrin dan mitos?

Zamzam Afandi Abdillah

zamzamzafad@gmail.com

Minggu lalu saya pergi ke sebuah kota yang terkenal sebagai kota santri di Jawa timur. Tujuan utama adalah untuk menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman kami ketika sama-sama kuliah di fakultas Adab IAIN SUKA YK.

Setiba di Kota tersebut, saya tidak langsung menuju Gedung pesta pernikahan, namun berkunjung atau singgah dulu di rumah seorang teman lain di sebuah pesantren yang hanya berjarak kira-kira enam kilo meter dari gedung tempat pesta. Teman satu ini, disamping pengasuh pondok, juga staf pengajar/dosen di Universitas Islam ternama di Surabaya.

Tak terasa hampir dua jam kami asyik mengobrol dan cerita sana-sini tanpa tema tertentu dari mulai mengingat pengalaman saat bersama-sama hingga membicarakan masalah amalan dan wirid para kiai sepuh sehingga pesantren yang mereka tinggalkan tetap langgeng dan terus berkembang maju.

Namun Ketika saya hendak pamit untuk segera menuju tempat pesta pernikahan, dia menyela: “sik tho/sebentar ya”. Saya diberi ijazah doa dari mbah yai anu (tanpa menyebutkan namanya), tapi ada yang musykil dari segi redaksinya, lalu dia menyebutkan bagian awal redaksi doa , yaitu :

اللهم إني أسألك يا من لا تراه العيون، ولا تخالطه الظنون، ولا تصفه الواصفون، ولا تغيره الحوادث ولا الدهور......

Khususnya pada kalimat (ولا تصفه الواصفون) dimana dalam redaksi yang diijazahkan oleh kiai kata kerja (fi’il- tashifu) menggunakan tanda muannats, padahal subyek/failnya (الواصفون) berupa jamak muzakkar salim. Lalu saya mencari data teks pembanding, saya temukan fi’ilnya berupa dalam bentuk muzakkar (yashifu).

Terus apa masalahnya bro, tanyaku.

Saya pingin tanya sampean yang menggeluti dunia bahasa dan sastra Arab, gemana menurut sampean?

Ya nggak gemana-gemana lha wong saya tahu sebenarnya sampean itu sudah tahu, tapi cuma ingin memancing pendapatku.

Bro, tidak mungkin saya menjawab pertanyaan sampean terkait kasus muthabaqah isnadiyah tadi jika harus disertai dalil-dalil kitab nahwu, alfiyah khususnya.Disamping waktunya sudah mepet, saya sendiri sudah agak lupa. Tapi seingat saya, struktur jumlah fi’liyah yang failnya berupa jamak muzakkar salim, maka failnya harus benbentuk muzakkar.

Mana dalilnya?

Wah sebentar, saya buka HP dulu, lihat nadhaman Alfiyah di HP.

Nah ini ketemu, bro.

والتاء مع جمع سوى السالم من مذكر كالتاء مع إحدى اللبن

Kalau menurut nadham alfiayah di atas, semua bentuk jamak selain jamak muzakkar salim, boleh fi’ilnya berupa mu’annats (ta’ ta’nits). Tapi seingat saya juga, ada pendapat berbeda yang membolehkan penggunaan fi’il bentuk mu’annats pada semua bentuk fa’il yang sighah jamak.Untuk sementara itu dulu bro.

Tapi sebenarnya saya tahu, kegelisahan dan problem sampean itu bukan semata-mata karena masalah nahwu, bukan masalah muthabaqah isnadiyah.Sampean sedang berhadapan dengan dua unsur terpenting dalam diri sampean yang delimatis tho: Nalar dan perasaan.

He…he.. kok ngerti saja sampean ini, katanya.

Okey, saya pamit dulu, untuk sementara gitu dulu ya bro. Insyaallah nanti kalau sudah luang saya bantu carikan jawaban atau penjelasannya.

Dalam perjalanan kembali ke Yogya, di kreta saya merenungkan kembali sikap teman saya tadi. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi atau yang mendorong dia bersikap seperti itu? Dia pernah jadi santri yang mendalami nahwu-sharaf dan menguasainya dengan baik. Tambah lagi, sebenarnya dia termasuk orang yang biasa berfikir rasional karena dia mengajar filsafat pada prodi yang sama di kampus tempat bernaungnya. Melihat latarbelakangnya itu, tak semestinya dia masih bertanya dan mencari jawaban dari orang lain. Namun segera saja saya abaikan kemusykilan yang melintas dibenak saya ini.

Saya fokuskan saja pada janji saya untuk membantunya mencari jawaban pertanyaanya saja. Jujur bahwa saya belum pernah mendengar atau membaca doa yang disapaikan teman saya. Karena itu, berdasarkan sepotong redaksi doa yang saya terima, lalu saya coba mencari-cari/browsing di mbah google doa selengkapnya, siapa penyusunnya, dalam kitab apa sumbernya.

Islamweb.net dalam judul “ رتبة حديث "يا من لا تراه العيون، ولا تخالطه الظنون" memuat doa tersebut. Berikut ini selengkapnya:

اللهم إني أسألك يا من لا تراه العيون، ولا تخالطه الظنون، ولا يصفه الواصفون، ولا تغيره الحوادث ولا الدهور، يعلم مثاقيل الجبال، ومكاييل البحار، وعدد قطر الأمطار، وعدد ورق الأشجار، وعدد ما يظلم عليه الليل، ويشرق عليه النهار، ولا تواري منه سماء سماء، ولا أرض أرضاً، ولا جبل إلا يعلم ما في قعره وسهله، ولا بحر إلا يعلم ما في قعره وساحله.. اللهم إني أسألك أن تجعل خير عملي آخره، وخير أيامي يوم ألقاك، إنك على كل شئ قدير.

Dalam penjelasanya, bahwa doa tersebut bukan karangan seorang kiai, ustad atau tuan guru, melainkan bersumber dari sebuah hadits yang disebutkan oleh al-Haitsami dalam kitab Majma’ al-Zawāid. Dari Anas bin Malik r.a. Pada suatu ketika Rasulullah sedang berjalan/bepergian, bertemu seorang baduwi (al-A’rabi) yang sedang shalat. Dalam shalatnya ia mengucapkan doa tersebut.

Tolong ya, nanti jika dia sudah selesai shalat, bawa kesini, pinta Nabi kepada salah seorang sahabat. Setelah dipertemukan dengan Nabi, Nabi memberinya emas yang dihadiahkan oleh sesorang kepada beliau sebelumnya. Nabi bertanya; Kamu berasal dari mana? Dari suku Bani Amir bin Sha’sha’ah ya Rasulallah. Tahukah kamu kenapa saya memberimu emas? Karena ada hubungan sanaksaudara diantara kita ya Rasulallah. Betul, untuk sanak saudara punya hak itu. Tetapi saya memberimu emas ini karena keindahan pujianmu terhadap Allah swt.

Jelas, dalam redaksi doa di atas, tertulis “ولا يصفه الواصفون”, bukan “ولا تصفه الواصفون”. Artinya, antara musnad dan musnad Ilaih (fi’il dan fail) sudaha serasi, sama-sama bentuk muzakkar dan sesuai dengan yang dijelaskan dalam Alfiyah Ibnu Malik.

Tetapi kenapa doa yang diijazahkan seorang kiai kepada teman saya tidak seperti itu? Ada banyak kemungkinan. Bisa jadi yang menerima yang salah menangkap atau mencatat jika doa tersebut diberikan secara lisan, bukan catatan. Bisa jadi sang kiai melakukan kesalahan yang tidak disengaja ketika mencatat atau menulis. Atau bisa jadi redaksi tersebut memang sengaja dibuat seperti itu karena argumen-argumen tertentu.

Untuk mendapatkan diskusi dan penjelasan terkait maslah ini, saya coba buka kitab Syarh Ibnu Aqil ‘Ala Alfiyah Ibnu Malik. Menurtnya, terdapat enam katagori dalam bahasa Arab yang menunjukan makna jamak:

1.Kata benda jamak (اسم الجمع - kata benda yang memiliki arti banyak) semisal kata Qoum, Raht dan Niswah (قوم و رهط و نسوة)

2. Kata benda jenis jamak (اسم الجنس الجمعي), yaitu kata:

a) yang pada bentuk tunggal (mufrad)nya terdapat ta’ ta’nits seperti syajarah, bentuk jamaknya syajar, “kalimah”, bentuk jamaknya “Kalim”, Tufahah, bentuk jamaknya “Tufah”.

b) yang pada bentuk tunggalnya terdapat ya’ nisbah semisal “Araby, jamaknya “Arab”, Rumy, jamkanya “Rum”, Jundy, jamaknya “Jund”.

3. Jamak Taksir utk maskulin (muzakkar) semisal Rijal, Zuyud dari bentuk mufrad Rajul dan Zaid.

4. Jamak Taksir untuk feminine (mu’annats) seperti Hunud dari mufrad Hindun, Fawathim dari mufrad Fathimah.

5. Jamak muzakkar salim, semisal Muslimun, mu’minun (مسلمون، مؤمنون)

6. Jamak Mu’annats salim, semisal Muslimat, Mu’minat (مسلمات، مؤمنات)

Terkait enam jenis bentuk jamak rersebut, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kesesuaian (Muthobaqah) antara fi’il dengan failnya terdapat tiga pendapat:

  1. Mayoritas mazhab Kufah: Semua subyek/Fail yang berbentuk dari enam kata benda jamak di atas, fi’ilnya boleh bentuk muzakkar atay mu’nnats: Contoh

  • ء القوم، و جاءت القوم، و فى الكتاب العزيز (و قال نسوة فى المدينة) و تقول: زحف الروم، و زحفت الروم، و فى الكتاب الكريم: (غُلِبَتِ الرُّومُ) و تقول. جاء الرجال، و جاءت الرجال. و تقول: جاء الهنود، و جاءت الهنود، و تقول جاء الزينبات، و جاءت الزينبات. و تقول: جاء الزيدون، و جاءت الزيدون.

  1. Mayoritas mazhab Bashrah: Selain Jamak Muzakar salim dan mu’annats salim, fi’ilnya boleh muzakkar atau mu’annats.Sedangkan untuk Jamak Muzakar salim dan mu’annats salim, harus pararel/muthobaqah.
  2. Pendapat Abu Ali al-Farisi: Hanya jamak muzakkar salim yang fi’il dan Fa’il nya harus pararel, selainya boleh tdk pararel.Sedangkan lima yang lain, fi’ilnya boleh muzakkar juga boleh mu’annats.

Dengan demikian, terkait dengan pertanyaan antum dalam kasus (ولا يصفه الواصفون), bisa dibenarkan jika fi’ilnya dalam bentuk mu’annats (تصف) apabila merujuk/berdasarkan pendapat nomor satu (mayoritas Kufah).

Perspektif Balaghah:

Selain penjelasan nahwu, ada ruang lain yang barangkali dapat menjelaskan kasus ini, yaitu penjelasan dari perspektif Balaghah.

Dalam Balaghah ada teori yang disebut Al-‘Udūl (العدول) atau peralihan/perubahan (shift) bentuk kata dalam berbagai kasus struktur bahasa sehingga tampak tidak serasi atau muthabaqah. Fenomena al-‘Udūl ini banyak diskusikan dalam dalam kajian balaghah.

Pendorong/penyebab terjadinya al-Udul, menurut MatarAbdullah Ishaq al-Jazuli ialah karena tiga faktor yaitu: dimensi/tuntutan makna (البعد المعنوي),tuntutan Irama/ritme(البعد الإيقاعي), dan tuntutan pragmatis (البعد التداولي).

Kasus wala tasifuhu al-Washifun, bisa dikategorikan salah satu bentuk al-‘Udul atas tuntutan keserasian irama/ritme (الإيقاع) dengan struktur kalimat sebelum dan setelahnya, atau karena tuntutan pragmatis, cari cara yang mudah mengucapkannya.

Jawaban atau penjelasan ini saya sampaikan ke teman saya. Terimaksih, sedikit melegakan hati saya, imbuhnya.

Setelah itu, saya kembali menyentilnya. Bro, sebenarnya sampean itu tidak ingin bertanya atau minta penjelasan tentang benar dan salah, atau boleh dan tidaknya doa yang diijazahkan mbah yai kepada sampean itu.Sampean bukan satu-satunya orang/santri yang menghadapi dilema seperti itu. Banyak santri mendapatkan ijazah doa/wirid dari guru atau kiai, karena beberapa sebab,yang struktur kalimat nya acapkali tidak sesuai dengan kaedah-kaedah nahwu atau sharaf.

Umumnya, ketika para santri pesantren tradisional menerima teks atau redaksi doa/wirid dimana di dalamnya terdapat ketidak sesuaian aspek gramatikanya, mereka bersikap antara;

a)Husnuzhan (berbaik sangka), menganggapnya sebagai kesalahan yang tidak disengaja.Santri berani merubah bagian struktur yang dia pandang tidak sesuai dengan kaedah nahwu-sharaf dan membetulkanya sendiri.

b)Santri akan menerima begitu saja apa adanya meskipun dia tahu ada kesalahan gramatika atau bahkan salah tulis, salah huruf, dan lainnya. Fenomena kedua ini nampaknya yang sering saya dengar dari beberapa teman saat saya masih di pesantren.

Tentu sikap seperti ini tidak muncul begitu saja.Pastilah ada hal-hal diluar nalar benar dan salah dalam bahasa. Ia melibatkan konsep relasi guru dan murid/santri dan kiai yang di dalamnya sarat doktrin, nilai etika dan mitos.

Pepatah arab mengatakan “Al adabu Fauqal 'ilmi” yang artinya adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Dalam relasi santri-kiai di pesantren tradisional,pepatah Arab ini bukan sekedar sebagai slogan, tapi benar-benar menjadi semacam doktrin yang harus dipraktekan dan dihayati. Diperkuat lagi ajaran-ajaran kitab Ta’limul muta’allim Fi Tharaiq al-Ta’llum karya Imam Burhanuddin al-Zarnuji. Sebuah kitab yang sarat akan pesan-pesan etis bagi para penuntut ilmu dan menjadi “buku wajib” diajarkan di pesantren -pesantren tradisional.

Salah satu doktrin yang umumnya sangat dipatuhi ialah bahwa posisinya sebagai santri harus benar-benar menjaga adab/etika pada kiai. Termasuk bagian dari menjaga adab ialah menerima apa saja yang disampaikan kiai. Santri harus menyadari maqom/posisinya sebagi santri yang masih dalam pencarian.Memandang kiai sebagai sumber pengetahuan dan bahkan sumber kebenaran. Berani menyoal kiai sama artinya melanggar adab dan akan mendapat label santri yang tidak beradab.

Disamping masalah adab, alam pesantren tradisional meyakini betul adanya barokah dari para kiai.Hal yang paling ditakuti santri ialah apabila ilmunya tidak barokah. Sepandai dan secerdas apapun, para santri akan tetap berharap mendapat ilmu yang barokah. Barokah dapat diperoleh melalui kepatuhan, penghormatan, ridho atau restu kiai dan doa-doanya.

Doktrin adab dan barokah inilah menurut hemat saya kemudian berkembang menjadi keyakinan/idiologi dan mengkristal menjadi mitos yang menancap dibawala alam sadar para santri. Sebuah ide apabila telah menjadi idiologi yang dimitoskan, tentu tak mudah menguap atau hilang begitu saja meskipun telah tertutupi oleh rimbunan pengetahuan dan doktrin yang diterima belakangan. Apa yang dialami oleh teman saya di atas, sesungguhnya hanyalah ekspresi dari betapa kuatnya doktrin adab dan barokah. Dia tidak berani merubah struktur jumlah fi’liyah yang menurutnya musykil karena takut melanggar adab, khawatir doanya tidak barokah, tidak dikabulkan Tuhan jika dia tidak mematuhi apa adanya yang ia terima dari sang kiai.

Wallahu a’lam bi shawab.

Grogol, Minggu 26 Januari 2025

Referensi:

Al-Haitsamī, Nūruddīn, Majma’ al-Fawāid wa Manba’ al-Fawāid, (Saudi Arabia: Dar al-Minhaj, 2015), j.20, hal. 392, hadits N0. 17222

Al-Jazūlī , MatarAbdullah Ishāq, al-‘Udūl ‘Ani al-Tazkīr Ila al-Ta’nīts Fi al-Qurān al-Karīm Wa al-Dilālatihi al-Lughawiyah Fi Fahm al-Nash wa Tafsīrihi: Dīrasah Sharfiyah Tahlīliyah. Majallah al-Ulum al-Insaniyah Wa al-Thabi’iyah, Vol.3, Issue 4. 2022. https://dio.org/10.53796/hnsj3247

Ibnu Aqīl, al-Qādhī Bahāuddin Abdullah bin Abdurrahmān bin Abdullāh, Syarh Ibnu Aqīl

‘Ala Alfiyah Ibnu Malik, (Beirut: Muassah al-Risālah Nāsyirūn, tt.), Juz 2, hal. 74-76

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/73178/%D8%B1%D8%AA%D8%A8%D8%A9-%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB-%D9%8A%D8%A7-%D9%85%D9%86-%D9%84%D8%A7-%D8%AA%D8%B1%D8%A7%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%8A%D9%88%D9%86-%D9%88%D9%84%D8%A7-%D8%AA%D8%AE%D8%A7%D9%84%D8%B7%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%B8%D9%86%D9%88%D9%86

Kolom Terpopuler